JAKARTA (THE JAKARTA POST/ASIA NEWS NETWORK) – Salah satunya, kontroversi seputar RUU Pedoman Ideologi Pancasila (HIP) kembali menunjukkan kecenderungan politisi kita untuk merancang kebijakan nasional tanpa konsultasi publik.
Tetapi lebih dari itu, RUU itu adalah pengingat suram dari masa lalu otoriter, ketika negara mendikte apa yang benar atau salah.
Pemerintah telah menyerukan penundaan pembahasan RUU tersebut, dengan alasan oposisi yang meluas.
Tuntutan untuk penarikan RUU dari agenda legislatif telah meningkat, dengan kelompok-kelompok Muslim moderat dan garis keras serta pensiunan jenderal militer berpendapat RUU itu adalah batu loncatan untuk munculnya kembali ideologi komunis di negara itu.
Tidak hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berkuasa, yang telah mensponsori RUU tersebut, tetapi semua faksi di Dewan Perwakilan Rakyat harus bertanggung jawab untuk memicu polemik, yang dapat merusak fokus negara pada respons Covid-19-nya.
DPR dengan suara bulat menyetujui RUU tersebut sebagai rancangan undang-undang inisiatif dan mendaftarkannya sebagai RUU prioritas selama sidang paripurna pada 12 Mei, setelah melalui setidaknya tujuh pertemuan Badan Legislasi DPR (Baleg), dua di antaranya secara tertutup, di mana semua faksi diwakili.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional yang berbasis Muslim, bagaimanapun, keberatan dengan rancangan asli karena gagal merujuk pada keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 1966 yang melarang komunisme sebagai landasan hukum.
Selama pembahasannya, Baleg mengundang sejumlah ahli, termasuk mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqqie, untuk berbagi pandangan mereka mengenai rancangan tersebut.
Namun yang jelas khalayak luas tidak dilibatkan dalam perumusan RUU tersebut. Di luar fakta bahwa semua pertemuan Baleg diadakan selama pandemi, seluruh proses yang mengarah ke DPR meminta Presiden untuk mengizinkan dimulainya musyawarah kurang transparan.
RUU ini bertujuan untuk mengatur nilai-nilai ideologi Pancasila dan fungsi Badan Pendidikan Ideologi Pancasila (BPIP). Ketua PDI-P dan mantan presiden Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai ketua komite pengarah.
BPIP didirikan berdasarkan keputusan presiden, itulah sebabnya beberapa orang percaya PDI-P meminta undang-undang sebagai payung hukum yang lebih kuat yang akan menjaga lembaga tetap utuh dan melanjutkan perannya ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang merupakan kader PDI-P, tidak lagi berkuasa pasca-2024.